Kamis, 29 Desember 2011

sejarah pers

Sejarah Pers Indonesia Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di Indonesia, bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah koran dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah koran bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Koran yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan koran dan surat kabar di Batavia. Walaupun demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa disamping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan. Dengan kata lain media masa dimasa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini. Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di Indonesia. Pers kaum pribumi Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi. Hadirnya Medan Prijaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia. Pers pasca kemerdekaan Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di perusahaan koran milik Jepang, yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 (tahun Jepang) koran-koran tersebut telah terbit dengan mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti "Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya". Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Dimasa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama tahun 1947, pers Indonesia terbagi dua. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh, yang selalu dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republikein. Yang terkenal di masa itu antara lain Merdeka, Waspada, dan Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke pedalaman, dengan peralatan dan bahan seadanya, koran mereka senantiasa menjaga agar jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah beredar koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang atau stensil dengan perwajahan yang sangat sederhana. Era Orde Baru: Aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan pada era Soeharto, represi sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru—orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen (dalam Soebagijo I.N, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal.181) Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, kepada pemimpin nasional (Soeharto). Kisah pembredelan di era Soeharto terus berlanjut. Era 1980-an meminta korban antara lain: pada 1982 majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu, ketika menulis peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng. Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada Maret 1983 oleh Kopkamtib akibat menyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia yang merupakan informasi off the record. Korban berikutnya adalah majalah Expo (Januari 1984) setelah memuat serial tulisan mengenai Seratus Milyader Indonesia. Tulisan tersebut dinilai telah “melakukan penyimpangan terhadap ketentuan perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers”. Dua bulan kemudian giliran majalah Topik akibat menulis editorial Mencari Golongan Miskin (Topik, 14 Februari 1984) dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertama dinilai “cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentang kelas”, sedangkan tulisan kedua dianggap “bernada sinis, insinuatif dan tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab.” Bulan Mei 1984, majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial. Berikutnya, pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit Deretan pembredelanitu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalah Senang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor dan Detik Pers Pancasila: Produk Asli Indonesia Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an. Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab. Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bias terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya. Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut—secara sinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui telepon ini bias dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers. Pers dan wartawan yang tidak bebas, ikut mengajarkan rasa takut terhadap kebebasan pada masyarakat. Atau setidaknya mereka bersikap masa bodoh, sejauh keuntungan ekonomi masih diperoleh. Di era rezim Soeharto, sejak pertengahan 1980-an, pers Indonesia mulai mencicipi buah keuntungan era pers industri. Dalam pers industri, bisnis informasi ternyata menjanjikan keuntungan besar, dan tingkat kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik. Namun keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin menumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan. Akibatnya yang menjadi prioritas pers Indonesia—didukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah perolehan keuntungan, bukan kualitas berita. Konsentrasi untuk mendapat keuntungan besar dan kesejahteraan materi dari bisnis pers menjadi semacam eskapisme bagi wartawan. Karena dalam situasi represif, sulit bagi wartawan untuk bisa mengeksplorasi kemampuan jurnalistiknya. Apalagi dengan adanya “hantu” pencabutan lisensi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Izin SIUPP benar-benar seperti nyawa bagi pers, dan pemerintah adalah malaikat yang siap mencabut nyawa itu setiap waktu. Pencabutan SIUPP menjadi momok yang menakutkan bagi pers. Terlebih-lebih saat itu sangat sulit untuk memperoleh SIUPP. Kriteria untuk mendapat SIUPP tidak jelas, dan menjadi rahasia umum, kalangan yang dekat dengan kekuasaan saja lah yang bisa mendapat SIUPP baru. Sehingga muncul dugaan SIUPP sengaja dijadikan alat untuk menyeleksi kepemilikan pers. Selain itu, ketika pemerintah (Departemen Penerangan), pada akhir 1980an, memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan SIUPP baru, selembar kertas perizinan itu nilainya menjadi amat mahal untuk diperjualbelikan. Melalui sistem lisensi ini lah negara (pemerintah) menguasai “ruang publik”, bukan saja media massa harus mendapat ijin agar terbit, rapat-rapat dan pertemuan publik (lebih dari lima orang) juga harus mendapat ijin. Ruang publik tersebut adalah “wilayah” yang bebas dari kontrol negara dan modal. Setiap anggota masyarakat dapat saling berinteraksi, belajar dan berdebat tentang masalah-masalah publik tanpa perlu risau adanya campur tangan penguasa (politik dan ekonomi). Dan media massa merupakan salah satu ruang publik yang paling efektif untuk sarana itu. Namun, di Indonesia, ruang publik (media) telah dikuasai negara, akibatnya dalam praktek jurnalisme di Indonesia, para wartawan lebih menempatkan ucapan pejabat, jenderal dan tokoh bisnis. Selain karena demi keamanan kelanjutan penerbitan, juga berangsur-angsur muncul anggapan bahwa ucapan pejabat pemerintah memberikan legitimasi yang kuat terhadap berita. Praktek jurnalisme semacam itu (news talking) selain aman juga lebih mudah dilakukan oleh para wartawan—juga menguntungkan bagi perusahaan pers, karena meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan dalam proses peliputan berita. Sebaliknya, praktek news talking memberikan peluang besar bagi para politisi (dan pengamat) untuk memanipulasi berita. Akibat lebih jauh dari praktek jurnalisme ini adalah trend menonjolnya peran hubungan masyarakat (Humas) kantor pemerintah dan perusahaan swasta yang siap menyediakan “segala informasi” untuk membantu kerja wartawan. Dengan maraknya “jurnalisme humas”, menyebabkan masyarakat semakin sulit memperoleh informasi yang benar tentang berbagai persoalan. Satu penelitian yang diadakan oleh Rizal Mallarangeng pada awal 1990 terhadap dua harian berpengaruh di Indonesia (Kompas dan Suara Karya) memperlihatkan besarnya ketergantungan dua media tersebut terhadap narasumber pejabat pemerintah atau birokrat. Sekitar 89,1 % berita Suara Karya dan 69,1 % berita bersumber dari pernyataan birokrat dan pejabat. Sedangkan menyangkut orientasi pemberitaan, sekitar 86,6% berita Suara Karya dan 78.9% berita di Kompas berisi dukungan terhadap kebijakan pemerintah. Menentang Tirani: Mencari Alternatif Pada era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat kebebasan pers dan arus informasi: adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan, serta praktek intimidasi dan sensor terhadap pers. Faktor-faktor itu lah yang telah berhasil menghambat arus informasi dan memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga kontrol. Wartawan Indonesia, selama 52 tahun, sejak Republik Indonesia berdiri, cuma mengenal satu organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Organisasi ini setiap kali terperangkap dalam korporatisme negara. Negara mengkooptasi PWI dan menggunakannya sebagai operator untuk merepresi dan mengintimidasi pers. Praktis, wartawan Indonesia tidak memiliki organisasi yang bisa mewakili dalam memperjuangkan hak, melindungi dan meningkatkan profesinya. Sebaliknya, wartawan justru dikontrol dan dilumpuhkan secara sistematis oleh PWI. Pemerintahan Soeharto telah menciptakan mekanisme kontrol efektif terhadap pers melalui tekanan untuk self cencorship, peringatan, teguran dan pembredelan. Namun kontrol yang paling efektif justru dilakukan oleh orang pers sendiri, melalui Dewan Pers serta PWI. Pengurus dua organisasi ini dengan sadar memfungsikan diri sebagai operator pemerintah dalam menekan pers. Pada akhirnya tekanan memunculkan perlawanan, pemicunya justru pembredelan tiga media terkemuka Tempo, Detik, dan Editor, pada 21 Juni 1994. Berbeda dari berbagai pembredelan pers yang sering terjadi di Indonesia, penutupan tiga media itu, di luar dugaan, memunculkan reaksi perlawanan masyarakat. Ratusan wartawan bergabung dengan mahasiswa dan aktivis NGO melakukan demonstrasi pada hari-hari setelah pembredelan. Khusus di kalangan wartawan, reaksi keras ditujukan kepada PWI. Sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang ada, PWI tidak memrotes pembredelan itu, sebaliknya malah “bisa memahami” sikap yang diambil rezim Soeharto. Bukan rahasia lagi, PWI merupakan kepanjangan birokrasi Departemen Penerangan. Sehingga, bukannya membela kepentingan, hak-hak dan aspirasi wartawan, PWI justru menjadi mesin teror bagi wartawan. Kalangan wartawan muda yang tidak puas atas sikap PWI ini pada 7 Agustus 1994 mendeklarasikan terbentuknya AJI sebagai wujud sikap “menolak wadah tunggal wartawan” dan sebagai organisasi alternatif bagi wartawan. Berdirinya AJI segera mengguncangkan hegemoni PWI, ini terbukti Departemen Penerangan dan PWI dengan sengit mencoba meniadakan kehadiran AJI. PWI memecat 13 anggotanya yang terlibat di AJI serta meminta perusahaan pers tidak mempekerjakan wartawan AJI. Belasan wartawan AJI disingkirkan dari kerja kewartawanan atau diminta mengundurkan diri. Pemimpin redaksi yang dianggap tidak sejalan dengan garis pemerintah serta merta bisa dicabut rekomendasinya dan hilang haknya sebagai pemimpin redaksi. “Pokoknya orang AJI tidak boleh jadi wartawan, mereka boleh kerja di perusahaan pers sebagai tukang sapu,” demikian ancam seorang pengurus PWI ketika mengintimidasi pemimpin redaksi D&R yang diketahui mempekerjakan orang AJI. Kelahiran AJI memang dipacu oleh pembredelan Juni 1994. Namun embrionya dimulai ketika wartawan muda di sejumlah kota mendirikan forum-forum diskusi wartawan. Mereka adalah Forum Wartawan Independen di Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta, Pers Club di Surabaya, dan Solidaritas Jurnalis Independen di Jakarta. Forum-forum wartawan yang berdiri awal 1990 an ini bersifat cair dan informal, karena untuk mendirikan organisasi formal wartawan di luar PWI, saat itu, hampir mustahil. Forum-forum diskusi wartawan semacam itu menjadi oase bagi kesumpekan wartawan yang menyadari mereka tak memiliki organisasi yang bisa menyuarakan aspirasi mereka. Kecenderungan Rezim Soeharto mengkooptasi dan cuma mengakui satu organisasi bagi setiap sektor organisasi masyarakat, mulai mendapat perlawanan. Berdirinya organisasi alternatif untuk menolak ketentuan pemerintah juga terjadi sektor lain. Di kalangan buruh, pada 1992, berdiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) sebagai tandingan terhadap Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) milik pemerintah. Untuk menandingi Dharma Wanita, telah muncul sejumlah kelompok NGO perempuan. Di kalangan mahasiswa, dibentuk berbagai “komite”atau “kelompok solidaritas” untuk menandingi organisasi kemahasiswaan yang diakui pemerintah. Berbagai kelompok alternatif itu menggalang jaringan oposisi. Mencoba tampil di lingkup politik mengambil alih fungsi partai politik dan parlemen yang telah bungkam lembaga eksekutif. AJI membangun jaringan di kalangan wartawan muda di berbagai daerah, juga melakukan training dan pelatihan kepada aktivis pers mahasiswa, serta mengorganisir aksi. Selain menjadi organisasi alternatif, AJI juga menerbitkan media alternatif tanpa SIUPP, Independen, sebagai sikap menolak politik perizinan. Selain Independen terdapat media yang aktif menyebarkan informasi alternative seperti yang diterbitkan Pijar Indonesia, Kabar dari Pijar, media-media kampus serta bulletin terbitan NGO. Berbagi media tanpa SIUPP itu menjadi alternatif bagi pembaca yang tidak puas dengan isi berita media mainstream. Semula Independen diterbitkan sebagai newsletter bagi anggota AJI, dengan berita mengenai seputar pers. Pada perkembangannya Independen juga menyediakan ruang untuk berita-berita umum, khususnya untuk fakta-fakta yang tidak bisa disiarkan oleh pers mainstream. Independen menampung berita-berita hasil reportase wartawan AJI, yang tidak mungkin dicetak oleh pers mainstream. Salah satu laporan investigatif Independen yang banyak mendapat reaksi adalah edisi nomor 10, terbit menjelang Hari Pers Nasional, Februari 1995. Dalam edisi itu, Independen mengungkap kepemilikan saham-saham Menteri Penerangan (saat itu) Harmoko dan keluarganya di beberapa media massa. Bagi kalangan pers, kabar Menteri Penerangan Harmoko memiliki saham di berbagai perusahaan pers, sudah banyak diperbincangkan, meskipun bisik-bisik. Berkah Internet: Pertarungan di Alam Maya Sejak 1995, Internet memainkan peran penting dalam penyebaran informasi di kalangan aktivis dan pengakses internet. Demam internet di Indonesia dijangkitkan oleh kehadiran Apakabar, mailing-list yang dikelola oleh John McDougall dari Amerika. Melalui Apakabar berbagai pandangan disebarkan, dari yang paling radikal hingga puritan, dari aktivis pro-demokrasi sampai aparat intel-militer. Selain berisi polemik berbagai pendapat dan pandangan, Apakabar juga menyebarkan informasi dari media massa, dalam dan luar negeri, yang berkaitan dengan situasi terbaru di Indonesia. Sukses Apakabar ini kemudian diikuti munculnya berbagai situs internet dan mailing-list yang dikelola para aktivis di Indonesia. Para wartawan eks-Tempo mengelola Tempo Interaktif, diikuti sejumlah mailing list seperti SiaR, KDPnet, AJInews, X-pos, Demidemokrasi, Indo-News.com, dll. Informasi yang disebarkan melalui internet mampu memuaskan masyarakat yang haus informasi, materi dari internet seringkali di down-load dan difotokopi sehingga bisa dibaca oleh mereka yang tidak memiliki akses ke internet. Selain itu, sensor yang menjadi kebiasaan rezim Soeharto, dengan mem-black out halaman koran atau majalah asing yang memuat tentang Indonesia, tidak bisa diterapkan di internet. Materi yang paling banyak beredar di internet adalah menyangkut kekayaan Soeharto dan praktek KKN rezim Orde Baru, disamping diskusi tentang demokrasi, hak asasi manusia serta menebarkan gagasan oposisi. Selain itu melalui internet aktivis pro-demokrasi juga saling berbagi informasi serta melakukan koordinasi, seperti menentukan waktu dan tempat aksi unjuk rasa. Setelah rezim Soeharto tumbang, media on-line yang berorientasi profit semakin tumbuh menjamur, seperti detik.com, mandiri.com, satunet.com, berpolitik.com, astaga.com. disamping itu sebagian besar media mainstream, seperti Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Forum, dll., juga memiliki versi on-line. Pers pasca jatuhnya Soeharto Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomi dan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannya mengalir tanpa bisa dibendung-- melalui media alternatif dan internet. Selain itu, pers juga tidak lagi mau dibungkam. Saat-saat terakhir menjelang keruntuhannya, Presiden Soeharto mencoba mengintimidasi pers, dengan menuduh pers "tidak proporsional dan melakukan disinformasi”. Soeharto marah karena pers selalu menempatkan aksi demonstrasi mahasiswa dan tuntutan reformasi di halaman pertama. Biasanya pers Indonesia akan ciut nyalinya jika Soeharto marah, namun situasi memang sedang berubah. Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis itu berarti peluang terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Penerangan yang baru, Junus Josfiah, segera merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) dan mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan. Pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang mencabut SIUPP—yang menjadi sangat mudah diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan periode Mei 1998-Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP akhirnya dicabut, dengan disahkannya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers pada September 1999. Bandingkan dengan era Soeharto yang cuma mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun kekuasaannya. Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikan organisasi baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagai organisasi ilegal, mulai diakui keberadaannya. Diikuti dengan lahirnya berbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 40. Memang terkesan ada inflasi organisasi wartawan dan penerbitan baru. Tapi ini gejala wajar, semacam demam kebebasan yang sedang dirayakan masyarakat (sebagaimana munculnya partai-partai politik baru, yang jumlahnya pernah mencapai 108 partai-- dari semula 3 partai). Para wartawan yang lama terkungkung dalam satu wadah organisasi, menemukan momentum untuk mengaktualisasikan diri. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers. Banyak pengusaha “dadakan” menerbitkan penerbitan pers dengan nama-nama yang aneh atau lucu, yang mengesankan kurang serius, seperti Deru, Dobrak, Pantura, Amien Pos, Mega Pos, Posmo, X-file, Gugat (tabloid ini bermotto: trial by the press) Terbukti kemudian, banyak media yang cuma bertahan satu atau dua bulan, dan berhenti terbit. Fenomena lain yang muncul, dan sempat memunculkan kekhawatiran kembalinya media partisan, adalah terbitnya sejumlah tabloid yang “berafiliasi” dengan partai politik. Media partai itu antara lain Amanat milik Partai Amanat Nasional (PAN), Duta Masyarakat milik Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Demokrat dikelola oleh Partai Demokrasi-Perjuangan (PDI-P), Abadi milik Partai Bulan Bintang (PBB) dan Siaga yang dianggap corong Partai Golkar. Berbeda dengan media partisan era demokrasi liberal pada tahun 1950-an, yang murni merupakan alat partai politik, media partisan jaman reformasi kali ini terbit dengan motif utama bisnis ketimbang politik, karena kelompok Jawa Pos Grup (Dahlan Iskan) lah yang mendanai penerbitan empat media parpol itu. Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era Presiden Habibie, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman. Karakter rezim Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagian besar pejabat pemerintah adalah “orang-orang Soeharto” juga. Sejumlah contoh menunjukkan rezim baru Habibie berupaya mengontrol pers. Pada bulan Juni 1998, Habibie melontarkan gagasan untuk menerapkan "sistem lisensi" pada wartawan, dan sebulan kemudian dia mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (kedua usulan itu bias digagalkan, berkat gencarnya perlawanan melalui aksi oposisi). Habibie juga meminta militer menindak keras aksi-aksi demonstrasi masyarakat. Bulan Juli 1998, acara Talk Show di stasiun Indosiar dihentikan secara tiba-tiba, oleh Menteri Sekretaris Negara (saat itu) Akbar Tanjung, ketika acara sedang disiarkan, karena dianggap terlalu lugas dalam mengritik Habibie. Tabloid Detak dan harian Merdeka dituntut oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, karena membongkar keterlibatan Syarwan dalam Peristiwa 27 Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI).. Majalah Tajuk dituntut oleh Kodam Jaya atas tulisan tentang keterlibatan militer dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998. Pemberitaan media yang gencar menyangkut penyadapan percakapan telepon antara Presiden Habibie dengan Jaksa Agung Andi M. Ghalib, telah menyebabkan beberapa pemimpin redaksi diperiksa oleh kepolisian. Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu. Dengan kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflik manajemen di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkang mendirikan Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian Suara Pembaruan dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagian sahamnya diambil oleh oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang, manajemen milik Dahlan Iskan itu kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelah muncul ketidaksepahaman dalama manajerial. Era kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderung pornografis). Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra, Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnya dipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan “persaingan” mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu semata-mata bersandar pada rumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konfirmasi atau wawancara kepada tiga figur tersebut. Kebebasan pers Indonesia, kemudian, banyak dikecam sebagai “kelewat batas” dan chaotic. Keprihatinan terhadap rendahnya penghargaan pada etika pers, khususnya untuk tabloid-tabloid baru, ramai disuarakan. Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak terkontrol itu bermunculan lembaga-lembaga yang menerbitkan jurnal pengawas media (media watch). Pada saat yang sama pers Indonesia memang tidak memiliki lembaga yang mampu mengawasi etika pers. Dewan Pers (bentukan pemerintah), yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol, tidak bisa berfungsi, karena kehilangan legitimasinya. Untuk merespon suara kecaman terhadap pers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupaya merumuskan kode etik bersama—yang menjadi patokan untuk seluruh organisasi wartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui proses perdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani oleh wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999. Sementara itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnya reformasi mulai menggagas untuk menyusun Undang-undang Pers baru guna membentengi kemerdekaan pers yang diperoleh. Sejumlah aktivis, pakar komunikasi, wartawan dan pengurus organisasi pers, pada akhir 1998 membentuk forum Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang kemudian menjadi motor penyusunan UU Pers baru. Setelah melalui rangkaian diskusi dan lobi panjang, akhirnya disahkan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers 1999) pada 23 September 1999. Dalam UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunya dibentuk Dewan Pers yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Selanjutnya Dewan Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan Dewan Pers Baru yang beranggotakan wakil-wakil wartawan, perusahaan pers dan tokoh masyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalam menentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasi wartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33 organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22 Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan sembilan nama sebagai pengurus Dewan Pers periode 2000-2003. Pers dalam Ancaman Massa Pers Indonesia memasuki fase baru, setelah sekian lama terpuruk dalam cengkeraman kontrol kekuasaan Soeharto, kini cengkeraman itu berwujud melalui ancaman publik. Tekanan dan ancaman di era Soeharto sangat efektif meskipun tidak langsung (remote) sedangkan ancaman massa bersifat fisik, sehingga lebih nyata. Pemakaian sarana koersif untuk menekan dan mengancam pers melalui pencabutan SIUPP meskipun lebih fatal, tetap terasa bukan ancaman nyata, sementara ancaman kekerasan dan teror massa jauh lebih konkrit dampaknya. Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengekplorasi kebebasan. Dampak yang kemudian terlihat, kebebasan itu untuk sebagian media, bukannya diekplorasi melainkan dieksploitasi. Sejumlah kebingungan dan kejengkelan terhadap kebebasan pers di era reformasi ini bisa dipahami. Kini media bebas untuk mengumbar sensasi, informasi yang diedarkan adalah yang bernilai jual tinggi, dikemas dengan gaya sensasi. Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak pers, maka “publik” kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolok ukur mereka sendiri. Era reformasi kini telah memproduksi media massa berorientasi populis, mengangkat soal-soal yang digunjingkan masyarakat. Akibatnya seringkali media massa menyebarkan informasi yang sebenarnya berkualifikasi isu, rumor bahkan dugaan-dugaan (hingga cacian dan hujatan). Pada ekstrim yang lain terdapat pula pers yang diterbitkan untuk tujuan politis: mempengaruhi dan membujuk pembacanya agar sepakat dan ikut dengan ideologi dan tujuan politisnya, atau bahkan menyerang dan membungkam pihak lawan. Media massa sebagai penyalur informasi mengemas apapun yang bias diinformasikan, asalkan itu menyenangkan dan sedang menjadi gunjingan publik. Gaya media semacam ini kemudian mendapat reaksi sepadan dari kelompok masyarakat tertentu yang cenderung radikal dan tertutup, atau kelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran sebagai milik mereka. Jika pemberitaan media tidak menyenangkan pihaknya atau kelompoknya, maka jalan pintasnya adalah melabrak dan mengancam—yang ternyata memang terbukti sangat efektif.Kasus pendudukan Jawa Pos (6 Mei 2000) menunjukkan, betapa pers tidak berdaya manakala gerombolan orang (massa Banser NU) memaksakan pendapatnya terhadap koran tersebut. Jawa Pos bertekuk lutut dan tergopoh meminta maaf, menyatakan pemberitaannya salah. Tidak ada pengujian secara adil dan logis menyangkut kesalahan atau ketidaksalahan Jawa Pos terhadap berita menyangkut Presiden Abdurrahman Wahid atau NU. Kisah lain menimpa SCTV, stasiun TV swasta itu harus menghentikan penayangan opera sabun yang sangat populer, Esmeralda, setelah 60 orang dari Front Pembela Islam (FPI) berunjukrasa ke SCTV (4 Mei). Telenovela itu dianggap secara sengaja menghina Islam, memberikan gambaran palsu dan menyesatkan kepada penontonnya, karena salah satu tokoh dalam film tersebut bernama Fatimah. Di kalangan Islam, Fatimah dikenal sebagai nama putri Nabi Muhammad SAW dan figur yang dihormati, sementara Fatimah dalam Esmeralda merupakan antagonis yang berperangai buruk. Tawaran SCTV untuk mengganti nama tokoh Fatimah ditolak FPI, vonis telah diputus: Esmeralda yang digemari banyak penonton itu tidak boleh disiarkan. Sebelumnya sejumlah wartawan dan media sempat merasa terteror dengan perangai kelompok yang menamakan diri Laskar Jihad. Organisasi ini telah mengancam, melakukan kekerasan terhadap wartawan yang ingin meliput kegiatannya. Selain mengancam secara fisik maupun teror psikologi, lascar yang gemar mengacungkan pedang itu juga diskriminatif terhadap wartawan perempuan dan wartawan non muslim. Tiga wartawan sempat disekap dan dianiaya di lokasi kamp latihan mereka di Desa Kayumanis, Kecamatan Tanah Sareal Bogor (9 April). Tabloid Semanggi beberapa waktu sebelumnya pernah diancam dibakar oleh Laskar Jihad k arena pemasangan foto kelompok ini pada edisi No. 19. Laskar ini merasa tersinggung karena fotonya dimuat dalam pemberitaan mengenai NII. Laskar Jihad menuntut agar tabloid Semanggi meminta maaf dan mengklarifikasi. Ancaman serupa menimpa harian Radar Bogor. Koran ini, pada 9 April, didatangi satu truk anggota Laskar Jihad dengan membawa senjata pedang dan pisau komando. Mereka marah karena Radar Bogor dinilai telah menyebarkan berita yang mengadu domba antara laskar jihad dengan masyarakat Kayumanis (lokasi latihan) dan aparat keamanan setempat. Tekanan massa Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) terhadap Radio PTPN Rasitania, Solo, sempat menghentikan siaran radio tersebut selama 27 jam. Sekitar 300 anggota FPIS protes atas siaran dialog interaktif berjudul “Usaha Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama” pada 24 Februari. Kebebasan pers: Pers Mengatur Sendiri Kebebasan memunculkan berbagai persoalannya sendiri, yang lebih kompleks ketimbang era tirani kekuasaan.. Kebebasan Pers yang kini berkembang di Indonesia, telah ditanggapi secara negatif oleh sejumlah pihak, karena dianggap telah “bebas terlampau jauh”. .Ekses negatif kebebasan pers saat ini terlihat semakin nyata dengan banyak bermunculannya media partisan, sensasional, termasuk yang menonjolkan erotika. Fenomena lainnya adalah munculnya banyak media yang mengusung asas jurnalisme alakadarnya dan kurang menghargai etika. Banyak pula muncul pemodal melakukan akrobat dalam bisnis pers: menerbitkan media, dua bulan kemudian ditutup lantaran tidak laku, kemudian menerbitkan media baru lainnya. Seserius apakah ekses negatif kebebasan pers saat ini? Memang ada soal ketika menyangkut pemberitaan konflik antar golongan atau etnis (seperti kasus Ambon), sebagian media telah memposisikan diri sebagai corong kelompok tertentu. Ada pula media yang diterbitkan semata-mata sebagai alat menyerang atau membela orang-orang tertentu. Namun justru itu lah resiko demokrasi: munculnya sejumlah pers yang buruk. Sebagaimana bertebaran pula gagasan-gagasan buruk. Tantangan di Indonesia kini adalah, pers yang bermutu dituntut untuk mengarahkan dan memperluas pembacanya, justru agar masyarakat tidak membaca media yang buruk. Agar dalam market place of ideas ide-ide baik menang terhadap gagasan buruk. Setelah halangan struktural kebebasan pers (regulasi pemerintah) berhasil disingkirkan, maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas Tidak bisa dielakkan bakal ada benturan kepentingan dan memunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan berpendapat seseorang merugikan pihak lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melalui pengadilan—yang diharapkan bisa mengeluarkan keputusan yang bijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas. Sayangnya, ditengah Kegan rungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini, hukum belum siap mengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan maupun menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bias bersimaharajalela, dan pers menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan akan kebebasan. Situasi itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia secara memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa mengatur atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling mengingatkan. Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik pers, dan menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi” yang diikuti teguran atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, control masyarakat, seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas atas pemberitaan pers bakal akan terus terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar